Laman

Minggu, 14 November 2010

Pule pandak

?Pule pandak
Rauwolfia serpentina(Flower).jpg
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Gentianales
Famili: Apocynaceae
Genus: Rauwolfia
Spesies: R. serpentina
Nama binomial
Rauvolfia serpentina
(L.) Benth. ex Kurz[1]
Pule pandak adalah tanaman bunga dari famili Apocynaceae yang telah banyak digunakan dalam industri obat.[2] Tanaman ini tersebar di India, Myanmar, Thailand, dan Indonesia (terutama Jawa).[3] Nama ilmiahnya Rauvolfia serpentina dibuat untuk menghormati seorang ahli botani berkebangsaan Inggris, Leonhard Rauwolf.

Pemerian dan ekologi

Perdu tegak ini tumbuh mencapai 1 m, batangnya silindris dengan percabangan berarna coklat abu-abu yang mengeluarkan cairan jernih bila dipatahkan.[2] Tanaman ini kadang ditemukan di pekarangan rumah sebagai tanaman hias, tetapi lebih sering tumbuh liar di ladang, hutan jati atau tempat-tempat lain sampai ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut.[2] Bunganya bunga majemuk, dengan mahkota bunga putih atau dadu berkumpul berbentuk payung keluar dari ketiak daun atau ujung percanbangan.[2]

Manfaat

Nilai pule pandak sebagai tanaman obat terletak pada kandungan alkaloidnya, keberadaan alkaloid ini sangat tergantung pada lingkungan terutama faktor-faktor yang mempengaruhi proses enzimatik antara lain jenis tanah, unsur hara, curah hujan, temperatur, dan cahaya.[3] Pule pandak dapat menyembuhkan tekanan darah tinggi (hipertensi), sakit kepala, vertigo, insonmnia, radang empedu, epilepsi, bisul, serta luka akibat gigitan ular atau kalajengking. [2]

Jotang kuda

?Jotang kuda
Synedrella nodiflora
Synedrella nodiflora
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
(tidak termasuk) Eudicots
(tidak termasuk) Asterids
Ordo: Asterales
Famili: Asteraceae
Genus: Synedrella
Spesies: S. nodiflora
Nama binomial
Synedrella nodiflora
(L.) J. Gaertner
Jotang kuda (Synedrella nodiflora) adalah sejenis gulma pertanian anggota suku Asteraceae. Berbau agak keras, sedikit menyerupai bau kambing, tumbuhan ini juga dikenal sebagai babadotan lalaki, jukut berak kambing atau jukut gendreng (Sd.); bruwan, gletang warak, krasuk, atau serunen (Jw.); serta gofu makeang (Ternate)[1]. Berasal dari Amerika tropis, jotang kuda kini telah menjadi tumbuhan pengganggu yang paling umum di Jawa; khususnya di tempat-tempat yang sedikit terlindung[2].

Pemerian botanis

Terna semusim, tegak atau berbaring pada pangkalnya, bercabang menggarpu berulang-ulang; tinggi hingga 1,5 m. Daun-daun berhadapan; dengan tangkai bentuk talang, 0,5–5,5 cm, tangkai dari pasangan daun yang sama dihubungkan dengan tepi yang sempit, dengan banyak rambut di sekitarnya. Helai daun bundar telur memanjang, 2,5–15 × 1–9 cm; pangkal daun menyempit sepanjang tangkai, ujung daun runcing, sementara tepinya bergerigi lemah, dan berambut di kedua permukaannya.[2]
Bongkol bunga terminal
Bunga majemuk dalam bongkol kecil, panjang 8–10 mm, duduk atau bertangkai pendek, berisi 10–20 bunga yang berjejal-jejal; terletak terminal atau di ketiak daun, 1-7 bongkol bersama-sama. Daun pelindung bundar telur memanjang, berujung runcing, berambut kaku. Bunga tepi 4–8 buah, dengan pita kuning bertaju 2–3, lk 2 mm panjangnya. Bunga cakram serupa tabung, 6–18 buah, kuning muda dengan taju kuning cerah. Tabung kepala sari coklat kehitaman. Buah keras dengan dua macam bentuk: buah dari bunga tepi sangat pipih, bersayap dan bergerigi runcing di tepi dan ujungnya; sementara buah dari bunga cakram sempit panjang, dengan 2–4 jarum di ujungnya. Panjang buah lk. 0,5 cm.[3][2]

Penyebaran dan ekologi

Perawakan
Jotang kuda tercatat pertama kalinya di Jawa pada 1888; dan kini telah menyebar luas di seluruh Indonesia. Tumbuhan ini menyenangi tempat-tempat yang sedikit ternaungi, dan lebih jarang, pada tempat yang hampir selalu disinari matahari. Jotang kuda tidak menyukai penggenangan. Kerap ditemukan di perkebunan; pekarangan; tepi-tepi jalan, pagar, dan saluran air; padang; dan tanah-tanah terlantar.[3]

Kegunaan

Daun yang muda kadang-kadang dimanfaatkan sebagai lalab. Daun yang digiling halus bersama daun bandotan (Ageratum conyzoides), daun cente manis (Lantana camara), dan kapur sirih, dioleskan untuk menghangatkan perut yang sakit. Tumbuhan ini juga digunakan sebagai obat gosok untuk meringankan rematik.[1]

Johar

?Johar
Bunga dan daun-daun johar, Senna siameaDarmaga, Bogor
Bunga dan daun-daun johar, Senna siamea
Darmaga, Bogor
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Upakelas: Rosidae
Ordo: Fabales
Famili: Fabaceae
Upafamili: Caesalpinioideae
Genus: Senna
Spesies: S. siamea
Nama binomial
Senna siamea
(Lamk.) Irwin et Barneby
Sinonim
  • Cassia florida Vahl
  • Cassia siamea Lamk.
  • Senna sumatrana Roxb.
Johar atau juar adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras yang termasuk suku Fabaceae (=Leguminosae, polong-polongan). Pohon yang sering ditanam sebagai peneduh tepi jalan ini dikenal pula dengan nama-nama yang mirip, seperti juwar (Btw., Jw., Sd.), atau johor (Mly.). Di Sumatra, pohon ini dinamai pula bujuk atau dulang. Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini disebut dengan beberapa nama seperti black-wood cassia, Bombay blackwood, kassod tree, Siamese senna dan lain-lain. Nama ilmiahnya, siamea, merujuk pada tanah asalnya, yakni Siam atau Thailand.

Pengenalan

Pohon, tinggi 2-20 (-30)m; dengan batang lurus dan pendek, gemang jarang melebihi 50cm.[1][2] Pepagan (kulit batang) berwarna abu-abu kecoklatan pada cabang yang muda; percabangan melebar membentuk tajuk yang padat dan membulat.[3]
Daun menyirip genap, 10—35 cm panjangnya; dengan tangkai bulat torak sepanjang 1,5—3,5 cm yang beralur dangkal di tengahnya; poros daun tanpa kelenjar; daun penumpu meruncing kecil, lk. 1 mm, lekas rontok. Anak daun 4—16 pasang, agak menjangat, jorong hingga jorong-bundar telur, 3—8 cm × 1—2,5 cm, panjang 2—4 × lebarnya, pangkal dan ujungnya membulat atau menumpul, gundul dan mengkilap di sisi atas, dengan rambut halus di sisi bawah.[3]
Polong johar
Bunga terkumpul dalam malai di ujung ranting, panjang 15—60 cm, berisi 10—60 kuntum yang terbagi lagi ke dalam beberapa tangkai (cabang) malai rata. Kelopak 5 buah, oval membundar, 4—9 mm, tebal dan berambut halus. Mahkota bunga berwarna kuning cerah, 5 helai, gundul, bundar telur terbalik, bendera dengan kuku sepanjang 1—2 mm. Benangsari 10, yang terpanjang lk. 1 cm; kurang lebih sama panjang dengan bakal buah dan tangkai putiknya.[1][3]
Buah polong memipih, 15—30 cm × 12—16 mm, berbiji 20—30, dengan tepi yang menebal, pada akhirnya memecah. Biji bundar telur pipih, 6.5—8 mm × 6 mm, coklat terang mengkilap.[3]

Kegunaan

Ditanam sebagai peneduh jalan
Johar sering ditanam dalam sistem pertanaman campuran (agroforestri), baik sebagai tanaman sela, tanaman tepi atau penghalang angin. Pohon ini acap ditanam sebagai penaung di perkebunan-perkebunan teh, kopi atau kakao. Akan tetapi perakarannya yang luas dapat berpotensi sebagai pesaing tanaman utama dalam perolehan unsur hara dan air, sehingga penanamannya harus dilakukan dengan hati-hati.[4] Sekarang johar juga kerap ditanam sebagai pohon peneduh tepi jalan dan pohon hias di taman-taman, bahkan juga untuk merehabilitasi lahan pertambangan.[3]
Kayu johar termasuk ke dalam kayu keras dan cukup berat (B.J. 0,6—1,01 pada kadar air 15%). Gubalnya berwarna keputihan, jelas terbedakan dari kayu terasnya yang coklat gelap hingga kehitaman, berbelang-belang kekuningan.[4][5] Kayu terasnya sangat awet (kelas awet I), sedangkan gubalnya lekas rusak dimakan serangga. Kayu johar juga tergolong kuat (kelas kuat I atau II), sehingga disukai dalam pembuatan jembatan dan tiang bangunan. Warna dan motifnya yang indah menjadikan kayu ini digemari dalam pembuatan mebel dan panel dekoratif; sayangnya kayu johar tergolong sukar dikerjakan karena kekerasannya.[6]
Johar menghasilkan kayu bakar yang baik, meskipun banyak mengeluarkan asap. Nilai kalorinya sebesar 4500-4600 Kkal/kg, sehingga kayu ini juga baik dijadikan arang.[4] Pada masa silam, johar dimasukkan dan ditanam secara luas di Afrika untuk diperdagangkan kayunya.[3][5]
Lukisan menurut Blanco
Daun-daun johar, bunga dan polongnya yang muda dapat dijadikan pakan ternak ruminansia, namun kandungan alkaloida di dalamnya terbukti toksik (beracun) bagi non-ruminansia seperti babi dan unggas.[3][6][7] Akan tetapi setelah melalui perebusan dan penggantian airnya beberapa kali, daun-daun johar yang muda dan bunganya dapat dimanfaatkan sebagai sayuran dalam masakan lokal di Thailand dan Srilanka.[5]
Johar juga menghasilkan zat penyamak dari pepagan, daun dan buahnya. Akarnya digunakan untuk mengobati cacingan dan sawan pada anak-anak. Kayu terasnya berkhasiat sebagai pencahar, dan rebusannya digunakan untuk mengobati kudis di Kamboja.[3] Sementara di Jawa Tengah, teh johar yang dihasilkan dari rebusan daunnya dipakai sebagai obat malaria.[6] Daun-daun dan bagian tumbuhan lainnya dari johar mengandung senyawa-senyawa kimia seperti antrakinona, antrona, flavona, serta aneka triterpenoida dan alkaloida, termasuk pula kasiadimina (cassiadimine).[3]
Di Cina, johar ditanam sebagai tanaman inang untuk memelihara kutu lak. Sementara daun-daun johar sering pula dimanfaatkan sebagai pupuk hijau atau mulsa.[5]

Ekologi dan perbanyakan

Asal-usul johar adalah dari Asia Selatan dan Tenggara.[3][4] Tumbuhan ini telah dibudidayakan begitu lama, sehingga tanah asalnya yang pasti tidak lagi diketahui.[5] Di Indonesia, johar diketahui tumbuh alami di Sumatra.[6]
Johar dapat tumbuh baik pada pelbagai kondisi tempat; akan tetapi paling cocok pada dataran rendah tropika dengan iklim muson, dengan curah hujan antara 500—2800 mm (optimum sekitar 1000 mm) pertahun, dan temperatur yang berkisar antara 20—31 °C. Johar menyukai tanah-tanah yang dalam, sarang, dan subur, dengan pH antara 5,5—7,5. Tanaman ini tidak tahan dingin dan pembekuan, tidak bagus tumbuhnya di atas elevasi 1300 m dpl.[4]
Perbanyakan terutama dilakukan dengan biji, yang biasanya langsung ditaburkan di lapangan. Biji-biji segar tidak memerlukan perlakuan pendahuluan, namun merendamnya dalam air dingin selama 12 jam akan mempercepat perkecambahan. Cara lain ialah dengan menyemaikannya lebih dulu, dan baru memindahkan anakannya ke lapangan setelah berumur 12-14 minggu (tinggi 25-30cm). Cara kedua ini meningkatkan peluang keberhasilan tumbuh anakan, terutama dalam menghadapi persaingan dengan gulma.[4]
Untuk kepraktisan pengangkutannya, anakan dapat ditanam dalam bentuk stump; dengan batang yang dipangkas hingga tersisa sepanjang 10 cm dan akar sepanjang 30 cm, maksimal diameter batang adalah 1 cm.[5]

Sintrong

?Sintrong
Sintrong, Crassocephalum crepidioidesDarmaga, Bogor
Sintrong, Crassocephalum crepidioides
Darmaga, Bogor
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
(tidak termasuk) Eudicots
(tidak termasuk) Asterids
Ordo: Asterales
Famili: Asteraceae
Bangsa: Senecioneae
Genus: Crassocephalum
Spesies: C. crepidioides
Nama binomial
Crassocephalum crepidioides
(Benth.) S. Moore
Sinonim
Gynura crepidioides Benth.
Sintrong (Crassocephalum crepidioides) adalah sejenis tumbuhan anggota suku Asteraceae. Terna ini umumnya ditemukan liar sebagai gulma di tepi jalan, di kebun-kebun pekarangan, atau pada lahan-lahan terlantar; pada ketinggian di atas 200 m dpl. Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini dikenal sebagai ebolo, thickhead, redflower ragleaf, atau fireweed.

Pemerian

Terna tegak, tinggi hingga 1 m, berbau harum aromatis apabila diremas. Batang lunak beralur-alur dangkal. Daun-daun terletak tersebar, dengan tangkai yang sering bertelinga. Helaian daun jorong memanjang atau bundar telur terbalik, 8–20 × 3–6 cm, dengan pangkal menyempit berangsur sepanjang tangkai daun dan ujung runcing, bertepi rata atau berlekuk hingga berbagi menyirip, bergigi bergerigi kasar dan runcing. Daun yang paling atas lebih kecil dan sering duduk.[1]
Bunga majemuk berupa bongkol-bongkol yang tersusun dalam malai rata terminal. Bongkol hijau dengan ujung jingga coklat hingga merah bata, silindris, 13–16 × 5–6 mm, mengangguk; tegak setelah menjadi buah. Mahkota kuning, dengan ujung merah kecoklatan, bertaju-5. Buah keras (achene) ramping memanjang, seperti gelendong berusuk 10, sekitar 2,5 mm panjangnya; dengan banyak rambut sikat (pappus) berwarna putih, 9–12 mm.[1][2]

Ekologi dan penyebaran

Perawakan
Sintrong memiliki asal-usul dari Afrika tropis, kini telah menyebar ke seluruh wilayah tropika di Asia. Di Indonesia, gulma ini tercatat dijumpai pertama kali di dekat Medan pada tahun 1926. Dari sini dibawa ke Jawa, dan kemudian meliar dan menyebar ke seluruh Nusantara.[2]
Kerap ditemui di tanah-tanah terlantar yang subur, tepi sungai, tepi jalan, kebun-kebun teh dan kina, terutama di bagian yang lembab, hingga ketinggian 2.500 m dpl. Juga di sawah-sawah yang mengering. Biji-biji (buah) menyebar dengan bantuan angin. Walaupun berbunga sepanjang tahun, terna ini merupakan tumbuhan pengganggu yang relatif mudah diatasi.[2]

Kegunaan

Sintrong merupakan lalap yang digemari di Jawa Barat[1]. Di Afrika, selain dimanfaatkan sebagai sayuran, beberapa bagian tanaman sintrong digunakan sebagai bahan obat tradisional; di antaranya untuk mengatasi gangguan perut, sakit kepala, luka, dan lain-lain.[3]. Gulma ini juga disukai sebagai pakan ternak[2].
Meskipun demikian tumbuhan ini ditengarai mengandung alkaloida pirolizidina yang bisa memicu tumor[4].

Secang

?Secang/Sepang
Deskripsi sepang dari Blanco
Deskripsi sepang dari Blanco
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Fabales
Famili: Fabaceae
Upafamili: Caesalpinioideae
Genus: Caesalpinia
Spesies: C. sappan
Nama binomial
Caesalpinia sappan
L.
Secang atau sepang (Caesalpinia sappan L.) adalah tumbuhan berwujud pohon anggota suku polong-polongan (Fabaceae).
Tumbuhan ini berasal dari Asia Tenggara maritim dan mudah ditemukan di Indonesia. Kulit kayunya dimanfaatkan orang sebagai bahan pengobatan, pewarna, dan minuman penyegar. Hingga abad ke-17 kulit kayunya menjadi bagian dari perdagangan rempah-rempah dari Nusantara ke berbagai tempat di dunia. Ia dikenal dengan berbagai nama, seperti seupeueng (Aceh), sepang (Gayo), sopang (Toba), lacang (Minangkabau), secang (Sunda), secang (Jawa), secang (Madura), sepang (Sasak), supa (Bima), sepel (Timor), hape (Sawu), hong (Alor), sepe (Roti), sema (Manado), dolo (Bare), sapang (Makasar), sepang (Bugis), sepen (Halmahera selatan), savala (Halmahera Utara), sungiang (Ternate), roro (Tidore), sappanwood (Inggris), dan suou (Jepang).
Kerabat dekatnya, kayu brazil (C. echinata), juga dimanfaatkan untuk hal yang sama.

Pertelaan botani

Tumbuhan berbentuk pohon atau perdu, tinggi mencapai 6m. Kayu silinder, warna hijau kecoklatan. Daun majemuk menyirip ganda khas Caesalpinioideae, panjang 25-40 cm, anak daun 10-20 pasang, bentuk lonjong, pangkal rompang, ujung bulat, tepi rata, panjang 10-25 mm, lebar 3-11 mm, hijau. Bunga tersusun majemuk, bentuk malai, di ujung batang, panjang 10-40 cm, kelopak lima, hijau, benang sari 15 mm, putik panjang 18 mm, mahkota bentuk tabung, kuning. Buah tipe polong, panjang 8-10 cm, lebar 3-4 cm, ujung seperti paruh, berisi 3-4 biji, hitam. Biji bulat panjang, panjang 15-18 mm, lebar 8-11 mm, tebal 5-7 mm, kuning kecoklatan. Akar tunggang, coklat kotor.

Wresah

?Wresah
Buah wresah (Amomum dealbatum) yang muda dari Gunung Malang, Cikidang, Sukabumi
Buah wresah (Amomum dealbatum) yang muda
dari Gunung Malang, Cikidang, Sukabumi
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Ordo: Zingiberales
Famili: Zingiberaceae
Genus: Amomum
Spesies: A. dealbatum
Nama binomial
Amomum dealbatum
Roxburgh (1820)
Sinonim
  • A. maximum Roxb. sensu Backer & Ochse
  • Cardamomum dealbatum O. Kuntze (1891)
Wresah atau hanggasa (Amomum dealbatum) adalah sejenis tumbuhan aromatis anggota suku jahe-jahean (Zingiberaceae). Buahnya yang manis agak masam dan berbau harum khas biasa dimakan dalam keadaan segar; buah mudanya dimakan setelah direbus. Tanaman asli Indonesia ini dikenal dengan nama-nama wresah, wersah atau resah (Jw.); resak (Mly.); hanggasa, hangasa, ranggasa (Sd.); dan langkasa (Kangean)[1]. Buahnya dikenal juga sebagai Java cardamom (Ingg.).

Pengenalan

Tandan buah muncul dekat pangkal batang
Merupakan terna tahunan yang subur, bisa tumbuh hingga 3 m. Daun bentuk jorong atau jorong lonjong, 30–90 × 10–20 cm, sisi atasnya gundul, sisi bawahnya berbulu halus putih seperti beledu.[2]
Bunga majemuk tersusun dalam tandan hampir bulat, diameter lk. 5 cm, muncul dari rimpang dekat pangkal batang semu. Tabung mahkota sedikit lebih panjang dari kelopak, putih bentuk jorong. Labellum[3] putih, dengan warna kuning di tengahnya dan coret kemerahan di pangkalnya, bentuk bundar telur, sekitar 3,5 cm panjangnya. Buah kotak berwarna hijau sampai keunguan, bulat telur, 2,5–3 × 1,8–2,4, bersudut 9 (7–13), berbulu halus.[2] Biji kecil-kecil, coklat kehitaman, hampir seluruhnya terbungkus dalam salut biji berdaging putih kelabu, banyak mengandung sari buah[4].

Kegunaan

Buah muda dibelah, memperlihatkan biji dan arilus
Buahnya terutama dimakan dalam keadaan segar, disukai karena salut bijinya yang mengandung banyak sari buah yang manis dan (kadang-kadang) agak masam rasanya. Umbut dan pucuk yang muda, perbungaan yang muda, serta buah muda sering direbus, sebagai sayuran atau dimakan dengan sambal.[4]
Produk dari India diperdagangkan sebagai kapulaga pengganti, setidaknya di masa lalu[5]. Di Cina digunakan sebagai ramuan obat tradisional[2].

Ekologi dan penyebaran

Hidup liar dan terpencar-pencar di hutan atau kebun talun, terutama pada tanah lembab yang kaya akan humus. Tumbuhan ini dapat diperbanyak dengan ujung rimpang yang berakar, meski jarang orang yang sengaja menanamnya.
Menyebar mulai dari India di sebelah barat, Nepal, Bangladesh, Yunnan, Thailand dan Indonesia (Jawa).

Pacing tawar

?Pacing tawar
Starr 030807-0069 Costus speciosus.jpg
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
(tidak termasuk) Monocots
(tidak termasuk) Commelinids
Ordo: Zingiberales
Famili: Costaceae
Genus: Costus
Spesies: C. speciosus
Nama binomial
Costus speciosus
(J.Konig) Sm.
Pacing tawar adalah tanaman obat-obatan yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae).[1]

Nama-nama lokal

Nama daerah di Jawa yaitu pacing, tepung tawar, poncang-pancing, dan bunto, di Sumatera disebut tabar-tabar, kelacim, setawar, tawar-tawar, tebu tawar, tubu-tubu, sitawar, tawa-tawa, dan totar.[1] Di Sulawesi, orang menyebutnya lingkuwas, lincuas, palai batang, tampung tawara, galoba utan atau tepu tepung, sedangkan orang Maluku mnyebutnya muri-muri, tebe pusa, tehu lopu, uga-uga dan tehe tepu.[1].

Pemerian dan ekologi

Pacing tawar merupakan tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi 0,5m - 3m dan menyukai tempat lembab dan teduh, terdapat sampai ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut.[1] Batangnya berwarna kuning kecoklatan, sebesar jari orang dewasa dan banyak mengandung air serta mudah dipatahkan, selaras dengan atang, daunnya berwarna hijau, tunggal, tangkainya pendek dan berhelai memanjang sampai bentuk lanset.[1]

Manfaat

Pacing tawar dapat diolah untuk mengobati bengkak pada sakit ginjal (Nephtiric edema), perut busung, infeksi saluran kemih (tractus urinarius) serta pengerutan hati (chirosis).[1] Dari bijinya dapat diproduksi diosegnin dengan sistem amobil sehingga berguna untuk meningkatkan kualitas industri obat-obatan.[2]

Saga rambat


?Saga rambat
Abrus precatorius pods.jpg
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Fabales
Famili: Fabaceae
Upafamili: Faboideae
Bangsa: Abreae
Genus: Abrus
Spesies: A. precatorius
Nama binomial
Abrus precatorius
L.
Saga rambat, saga telik, atau saga areuy (Abrus precatorius) merupakan tumbuhan obat anti seriawan yang populer. Tumbuhan merambat ini, yang berbiji jingga kemerahan, juga biasa disebut sebagai saga sehingga kadang-kadang rancu dengan saga pohon (Adenanthera pavonina).
Daun tumbuhan ini, bila dikombinasikan dengan daun sirih, menjadi obat tradisional yang ampuh mengatasi seriawan.[1] Khasiat ini berasal dari beberapa bahan aktif abrus lactone, asam abrusgenat, dan turunan metilnya. Daunnya juga mengandung glycyrrhizin.
Biji tumbuhan ini berwarna merah dengan warna hitam pada bagian yang runcing. Bijinya beracun, dan mirip dengan racun jarak pohon (ricin). Namun demikian, di Tiongkok biji ini kadang-kadang dijadikan perhiasan sebagai lambang kasih sayang. Terdapat laporan mengenai kematian akibat proses pengolahan biji ini sebagai perhiasan.

Ketapang

?Ketapang
Ketapang, Terminalia catappamenurut F.M. Blanco, Flora de Filipinas
Ketapang, Terminalia catappa
menurut F.M. Blanco, Flora de Filipinas
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Myrtales
Famili: Combretaceae
Genus: Terminalia
Spesies: T. catappa
Nama binomial
Terminalia catappa
L.
Sinonim
Terminalia moluccana Lamk.
Terminalia procera Roxb.
Terminalia latifolia Blanco, non Swartz
Ketapang atau katapang (Terminalia catappa) adalah nama sejenis pohon tepi pantai yang rindang. Lekas tumbuh dan membentuk tajuk indah bertingkat-tingkat, ketapang kerap dijadikan pohon peneduh di taman-taman dan tepi jalan. Selain nama ketapang dengan pelbagai variasi dialeknya (misalnya Bat.: hatapang; Nias: katafa; Mink.: katapiĕng; Teupah: lahapang; Tim.: ketapas; Bug.: atapang; dll.), pohon ini juga memiliki banyak sebutan seperti talisei, tarisei, salrisé (Sulut); tiliso, tiliho, ngusu (Maluku Utara); sarisa, sirisa, sirisal, sarisalo (Mal.); lisa (Rote); kalis, kris (Papua Barat); dan sebagainya.[1]
Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini dikenal dengan nama-nama Bengal almond, Indian almond, Malabar almond, Singapore almond, Tropical almond, Sea almond, Beach almond, Talisay tree, Umbrella tree, dan lain-lain.

Pemerian botanis

Perawakan
Pohon besar, tingginya mencapai 40 m dan gemang batang sampai 1,5 m. Bertajuk rindang dengan cabang-cabang yang tumbuh mendatar dan bertingkat-tingkat; pohon yang muda sering nampak seperti pagoda. Pohon-pohon yang tua dan besar acap kali berbanir (akar papan), tingginya bisa hingga 3 m.[2]
Daun-daun tersebar, sebagian besarnya berjejalan di ujung ranting, bertangkai pendek atau hampir duduk. Helaian daun bundar telur terbalik, 8–25(–38) x 5–14(–19) cm, dengan ujung lebar dengan runcingan dan pangkal yang menyempit perlahan, helaian di pangkal bentuk jantung, pangkal dengan kelenjar di kiri-kanan ibu tulang daun di sisi bawah. Helaian serupa kulit, licin di atas, berambut halus di sisi bawah; kemerahan jika akan rontok.[2][3]
Daun-daun kemerahan, hampir gugur
Bunga-bunga berukuran kecil, terkumpul dalam bulir dekat ujung ranting, panjang 8–25 cm, hijau kuning[2]. Bunga tak bermahkota, dengan kelopak bertaju-5, bentuk piring atau lonceng, 4–8 mm, putih[3] atau krem. Benang sari dalam 2 lingkaran, tersusun lima-lima. Buah batu bulat telur gepeng, bersegi atau bersayap sempit, 2,5–7 x 4–5,5 cm, hijau-kuning-merah, atau ungu kemerahan jika masak.[2][3]

Penyebaran dan ekologi

Bulir bunga ketapang, dihinggapi sejenis lalat apung
Ketapang merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara dan umum ditemukan di wilayah ini, kecuali di Sumatra dan Kalimantan yang agak jarang didapati di alam. Pohon ini biasa ditanam di Australia bagian utara dan Polinesia; demikian pula di India, Pakistan, Madagaskar, Afrika Timur dan Afrika Barat, Amerika Tengah, serta Amerika Selatan.[4]
Pohon ini cocok dengan iklim pesisir dan dataran rendah hingga ketinggian sekitar 400 m dpl.; curah hujan antara 1.000–3.500 mm pertahun, dan bulan kering hingga 6 bulan[2]. Ketapang menggugurkan daun hingga dua kali setahun, sehingga tumbuhan ini bisa tahan menghadapi bulan-bulan yang kering[5]. Buahnya yang memiliki lapisan gabus dapat terapung-apung di air sungai dan laut[3] hingga berbulan-bulan, sebelum tumbuh di tempat yang cocok. Buahnya juga disebarkan oleh kelelawar.

Manfaat

Buah dan biji
Pepagannya dan daun-daunnya dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit, sebagai bahan pewarna hitam, dan juga untuk membuat tinta[1]. Pepagan ini menghasilkan zat pewarna kuning kecoklatan sampai warna zaitun, dan mengandung 11–23% tanin; sementara daun-daunnya mengandung 12 macam tanin yang dapat dihidrolisis[4]. Dalam pada itu populer keyakinan di kalangan penggemar ikan hias bahwa menaruh daun-daun ketapang kering di akuarium, khususnya ikan cupang (Betta spp.), dapat memperbaiki kesehatan dan memperpanjang umur ikan[6].
Kayu terasnya merah bata pucat hingga kecoklat-coklatan, ringan sampai sedang, BJ-nya berkisar antara 0,465–0,675; cukup keras dan ulet, namun tidak begitu awet[4]. Kayu ini dalam perdagangan dikenal sebagai red-brown terminalia, dan digunakan sebagai penutup lantai atau venir[7]. Di Indonesia, kayu ini digunakan dalam pembuatan perahu dan juga untuk ramuan rumah [1].
Biji ketapang dapat dimakan mentah atau dimasak, konon lebih enak dari biji kenari, dan digunakan sebagai pengganti biji amandel (almond) dalam kue-kue[1]. Inti bijinya yang kering jemur menghasilkan minyak berwarna kuning hingga setengah dari bobot semula. Minyak ini mengandung asam-asam lemak seperti asam palmitat (55,5%), asam oleat (23,3%), asam linoleat, asam stearat dan asam miristat. Biji kering ini juga mengandung protein (25%), gula (16%), serta berbagai macam asam amino.[4]

Jenis yang berkerabat

Ranting yang gugur daun bersemi kembali
Nama ketapang juga digunakan untuk menyebut T. gigantea V.Sl., yang tumbuh di tempat berpaya-paya di Simeulue bagian selatan[1]. Kerabat dekatnya yang mirip ketapang, di antaranya[2]:
  • T. littorea, memiliki bulir bunga yang lebih pendek dan begitu juga buahnya (kecil, < 2,5 cm).
  • T. glabrata, memiliki tangkai daun yang panjang (1,5–2,5 cm), pangkal helaian daun tidak berbentuk jantung, dan buah yang relatif lebih kecil dan menyegi.
Jenis lain, T. bellirica Roxb. yang dikenal sebagai jaha atau joho lawe (Jw.) menghasilkan buah yang digunakan sebagai bahan jamu, bahan penyamak dan bahan pewarna